PROSEDUR PENCAIRAN ANGGARAN BELANJA NEGARA

(Oleh: Abu Samman Lubis, Widyaiswara Muda)
A. Latar belakang
Berdasarkan Undang-undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara telah digulirkan Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah yang mengakibatkan adanya perubahan fungsi yaitu dari fungsi yang menekankan pada fublic Financial Administration ke fungsi Public Financial Management. Dengan perubahan fungsi tersebut terdapat pemisahan kewenangan dan implikasinya. Pemisahan kewenangan ditujukan untuk menjamin terciptanya mekanisme check and balance serta memperjelas akuntabilitas masing-masing pihak yaitu menteri keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officier (CFO) Pemerintah Indonesia yang berwenang dan bertanggung jawa atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional, sedangkan para menteri dan pimpinan lembaga negara adalah Chief Operational Officier (COO) yang berwenang dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai bidang tugas dan fungsi masing-masing.
Pembagian kewenangan yang jelas dalam pelaksanaan anggaran antara menteri keuangan dan menteri teknis tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan terlaksananya mekanisme saling uji dalam pelaksanaan pengeluaran negara dan jaminan atas kejelasan akuntabilitas Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara dan Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran. Selain itu, pembagian kewenangan ini akan memberikan fleksibilitas bagi menteri teknis sebagai pengguna anggaran kementeriannya secara efisien dan efektif dalam rangka optimalisasi kinerja kementeriannya untuk menghasilkan output yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kewenangan menteri teknis akan melaksanakan Administrasi Beheer yang meliputi pembuatan komitmen, pengujian, dan pembebanan, serta perintah pembayaran, sedangkan Menteri Keuangan akan melaksanakan Comptabel Beheer yang meliputi pengujian dan pencairan dana.
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA menunjuk Pebajat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk satuan kerja/satuan kerja semenara di lingkungan instansi PA bersangkutan dengan surat keputusan. KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran belanja negara yang dikuasakan kepadanya. Dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja negara di lingkungan kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan kewenangannya kepada KPA untuk menunjuk PPK, Pejabat Penguji SPP/Penerbit SPM dan Bendahara Pengeluaran.
Menteri keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) mengangkat Kuasa BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan. Kuasa BUN adalah pejabat yang mempunyai kewenangan untuk dan atas nama BUN melaksanakan fungsi pengelolaan Rekening Kas Umum Negara, tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara. Instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kewenangan selaku Kuasa BUN adalah Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) sebelum menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) terlebih dahulu melakukan pengujian secara substansial dan formal terhadap SPM yang diterimanya.
Sejalan dengan reformasi tersebut, Departemen Keuangan terutama unit organisasi paling terdepan seperti KPPN sebagai Kuasa BUN telah melakukan reformasi organisasi dalam rangka memperlancar pencairan APBN.
Namun demikian berdasarkan informasi yang ada sampai akhir Juni 2010 realisasi APBN masih rendah yaitu sebesar 36% dari total belanja pemerintah pusat Rp 781,5. Jika dibandingkan dengan semester yang sama tahun lalu, tingkat penyerapan anggaran kali ini sedikit lebih baik. Pada 2009, hingga Juni 2009 penyerapan APBN hanya sekitar 31%.
Kepala Badan Anggaran DPR Harry Azhar Azis mengatakan minimnya pemahaman standar operasional pencairan anggaran oleh para petugas satuan kerja di K/L bisa menjadi penyebab rendahnya penyerapan anggaran. Bisa juga karena proses administrasi yang berbelit-belit, juga mekanisme dan aturan tender yang tidak sederhana.
Berkenaan dengan rendahnya penyerapan anggaran negara, maka baik menteri teknis sebagai penguasa anggaran maupun menteri keuangan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN) harus mengetahui prosedur pencairan dan pengujian tagihan kepada negara.
B. Pengujian terhadap Negara
Terhadap tagihan kepada negara semua pihak harus melakukan pengujian terhadap tagihan kepada negara. Secara umum pengujian tersebut meliputi tiga hal pokok yaitu:
1. Pengujian secara Wetmatigheid
Pengujian wetmatigheid dilakukan untuk mencari tahu terhadap jawaban atas pertanyaan, apakah tagihan atas beban anggaran belanja negara itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau tidak, dan apakah dana yang digunakan untuk membayar tagihan atas beban anggaran belanja negara itu tersedia dalam DIPA atau tidak.
2. Pengujian secara Rechmatigheid
Pengujian rechmatigheid dilakukan untuk mencari tahu terhadap jawaban atas pertanyaan, apakah para pihak yang mengajukan tagihan atas beban anggaran belanja negara itu secara formal adalah sah. Untuk keperluan pengujian rechmatigfeid ini, maka kepada para pihak penagih diminta untuk menunjukkan adanya surat-surat bukti, sehingga tagihan dapat dipertanggungjawabkan. Surat-surat bukti antara lain meliputi Surat Perintah Kerja (SPK), Surat Perjanjian/Kontrak, Kuitansi, Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan dan lain sebagainya.
3. Pengujian secara Doelmatigheid
Pengujian Doelmatigheid dilakukan untuk mencari tahu terhadap jawaban atas pertanyaan, apakah maksud/tujuan (output) dari suatu pekerjaan sebagai pelaksanaan kegiatan/sub kegiatan itu sesuai dengan sasaran/keluaran kegiatan dan indikator keluaran Sub Kegiatan yang tertuang dalam DIPA atau tidak. Sebagai contoh, apabila ada pekerjaan pengadaan barang/jasa, maka hasil pegadaan berupa sejumlah (satuan) barang/jasa memang nyata-nyata ada sesuai dengan spesifikasi yang diminta dalam SPK/Kontrak. Termasuk juga pengujian adanya pemborosan atau tidak, sebagai contoh untuk perjalanan dinas yang tidak terlalu prioritas, dan atau pembelian/penggantian ban kenderaan yang masih baru/layak digunakan.

Bendahara Pengeluaran sebagai pejabat yang mengelola uang persediaan harus mampu menjalankan fungsi pengujian terhadap tagihan kepada negara khususnya tagihan terhadap uang persediaan dan tagihan lain yang berada di bawah tanggung jawabnya. Apabila bendahara pengeluaran mempunyai kemampuan untuk melakukan pengujian secara baik dan benar maka tagihan yang diajukan kepada negara telah benar-benar memenuhi persyaratan dan akan memudahkan pengujian-pengujian selanjutnya yang dilakukan oleh pihak-pihak lain.
Pejabat Perbendaharan
Dalam pengelolaan keuangan negara dikenal istilah pejabat Perbendaharaan. Yang dimaksud dengan pejabat Perbendaharaan tersebut adalah Bendahara Umum Negara, Bendahara (Pengeluaran dan Penerimaan) dan Pengguna Anggara/Kuasa Pengguna Anggara.
Prosedur Pencairan Anggaran
Prosedur pencairan anggaran pada kantor/satuan kerja instansi pemerintah, melibatkan berbagai pihak yaitu:
1. Pihak ketiga selaku rekanan/penyedia barang jasa/jasa yang mengajukan tagihan kepada pemerintah;
2. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang mengajukan SPP-LS/SPP-GUP pada suatu kantor/satuan kerja;
3. Pejabat penguji SPP/penerbit SPM yang melakukan pengujian SPP yang diajukan PPK dan menerbitkan SPM pada suatu kantor/satuan kerja;
4. KPPN selaku kuasa BUN, menerbitkan SP2D setelah menerima SPM dari kantor/satuan kerja;
5. Pihak perbankan selaku bank operasional KPPN yang melakukan pemindahbukuan sejumlah uang ke rekening yang berhak, sesuai yang tersebut dalam SP2D dari KPPN mitra kerjanya.
Prosedur pembayaran secara langsung di mulai dari adanya tagihan kepada pemerintah, penyusunan SPP, Pengujian SPP, penerbitan SPM, penerbitan SP2D dan terakhir dengan pemindahbukuan sejumlah uang dari rekening kas Negara ke rekening yang berhak. Sedangkan mekanisme UP pembayaran kepada pihak ketiga (rekanan) dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran. Sedangkan mekanisme pencairan dari rekening Kas Umum Negara sampai ke rekening Bendahara sama dengan prosedur LS, dimulai dengan penyusunan SPP, pengujian SPP, penerbitan SPM, penerbitan SP2D dan terakhir dengan pemindahbukuan sejumlah uang dari rekening kas negara ke rekening Bendahara Pengeluaran.
C. Pembayaran atas beban Anggaran Belanja
Pembayaran atas anggaran belanja negara dilakukan melalui pembayaran Uang Persediaan dan Pembayaran Langsung (LS) untuk belanja pegawai dan non belanja pegawai.
Adapun dokumen yang harus dilampirkan pada SPM yang akan diajukan ke KPPN adalah sebagai berikut.
SPM untuk keperluan pembayaran langsung (LS) Belanja Pegawai:
1. Daftar Gaji/Gaji Susulan/Kekurangan Gaji/Lembur/Honor dan Vakasi yang ditandatangani oleh KPA atau pejabat yang ditunjuk dan Bendahara Pengeluaran,
2. Surat Keputusan Kepegawaian dalam hal terjadi perubahan pada Daftar Gaji,
3. Surat Keputusan Pemberian Honor/Vakasi dan SPK Lembur,
4. Surat Setoran Pajak (SSP).
SPM untuk keperluan pembayaran langsung (LS) Non Belanja Pegawai:
1. Resume Kontrak/SPK atau Daftar Nominatif Perjalanan Dinas;
2. SPTB;
3. Faktur Pajak dan Surat Setoran Pajak (SSP).
SPM untuk keperluan Uang Persediaan (UP)
Surat Pernyataan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau Pejabat yang ditunjuk, menyatakan bahwa uang Persediaan tersebut tidak untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang menurut ketentuan harus dengan LS.
UP dapat diberikan setinggi-tingginya:
1) 1/12 dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP maksimal Rp 50.000.000,00 untuk pagu s.d. Rp 900.000.000,00;
2) 1/18 dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP maksimal Rp 100.000.000,00;
3) 1/24 dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP maksimal Rp 200.000.000,00 untuk pagu di atas Rp 2.400.000.000,00
Perubahan besaran UP di luar ketentuan pada butir c (1/12, 1/18, 1/24 dari pagu DIPA) ditetapkan oleh DirekturJenderal Perendaharaan.
UP dapat diberikan dalam batas-batas sebagai berikut:
UP dapat diberikan untuk pengeluaran belanja barang pada klasifikasi belanja: 5211, 5212, 5221, 5231, 5241, dan 5811.
Pembayaran yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran kepada satu rekanan dengan UP tidak boleh melebihi Rp 10.000.000,00 kecuali untuk pembayaran honor.
SPM untuk keperluan pembayaran Tambahan Uang Persediaan:
1. Rincian rencana penggunaan dana Tambahan Uang Persediaan dari Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk;
2. Surat Dispensasi Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk TUP di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);
3. Surat Pernyataan dari KPA atau pejabat yang ditunjuk yang menyatakan bahwa:
a) Dana TUP tersebut akan digunakan untuk keperluan mendesak dan akan habis digunakan dalam waktu satu bulan terhitung sejak diterbitkan SP2D,
b) Apabila terdapat sisa dana TUP, harus disetor ke Kas Negara,
c) Tidak untuk membiayai pengeluaran yang seharusnya dibayarkan secara langsung.
SPM GUP (Penggantian Uang Persediaan)
1. Kuitansi/tanda bukti pembayaran;
2. Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja (SPTB);
3. Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dilegalisisir oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk.
Prosedur Penerbitan SP2D
· Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan SPM beserta dokumen pendukung dilengkapi dengan Arsip Data Komputer (ADK) berupa soft copy (disket) melalui loket penerimaan SPM pada KPPN.
· SPM yang diajukan ke KPPN sebagai dasar penerbitan SP2D.
Pengujian SPM oleh KPPN mencakup:
1. Pengujian bersifat substansial dan formal;
2. Pengujian substansif dilakukan untuk:
a. Menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
b. Menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang ditunjuk dalam SPM terebut;
c. Menguji dokumen sebagai dasar penagihan;
d. Menguji SPTB dari kepala kantor/satker;
e. Menguji faktur pajak serta SSP-nya.
3. Pengujian formal dilakukan untuk:
a. Mencocokkan tanda tangan pejabat penandatanganan SPM dengan specimen;
b. Memeriksa cara pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf;
c. Tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.
Tindak Lanjut Hasil Pengujian SPM

-Apabila memnuhi syarat maka diterbitkan SP2D;
-Apabila tidak memenuhi syarat maka ditolak dengan surat yang ditandatangani Kepala KPPN.

Matriks Penyelesaian Produk KPPN

No.
Jenis SPM
Batas Waktu Penyelesaian
1.
SPM UP
Maksimal 1 jam *
2.
SPM Penggantian UP
Maksimal 1 jam *
3.
SPM Tambahan UP
Maksimal 1 jam *
4.
SPM LS
Maksimal 1 jam *
5.
SPM Belanja Pegawai Induk
Maksimal 5 hari kerja sebelum awal bulan pembayaran
6.
SPM Belanja Pegawai Non Gaji Induk
5 hari kerja
























*Terhitung sejak SPM diterima KPPN dengan benar dan lengkap.
Tulisan ini memberi informasi kepada satker-satker kementerian teknis persyaratan yang harus diperhatikan dalam mengajukan SPM kepada KPPN. Dengan mengetahui persyaratan pencairan dana setidaknya akan dapat mengurangi rendahnya penyerapan anggaran.
REFERENSI
Noor Cholis Madjid, Pengujian dan Pembayaran Tagihan, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan, BPPK, 2010.
Departemen Keuangan RI, Pengelolaan Keuangan Negara, Pusdiklat Pegawai, BPPK, 2008
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Peraturan Dirjen Perbendaharaan No. PER-66/PB/2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Koran harian “Media Indonesia”, Jumat, 09 Juli 2010, halaman 16
Penulis:
ABU SAMMAN LUBIS
WIDYAISWARA MUDA
BALAI DIKLAT KEUANGAN PONTIANAK

Terakhir Diperbaharui (Selasa, 02 November 2010 16:05)


Penerapan Manajemen Resiko Perbankan Syariah
BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pesatnya perkembangan bank syariah baik di Indonesia maupun Internasional telah memberikan alternatif baru bagi konsumen pengguna jasa perbankan untuk menikmati produk-produk perbankan dengan metode nonbunga dan kepercayaan masyarakat sebagai konsumen terhadap perbankan syariah semakin tinggi. Saat ini, layanan perbankan syariah telah tersebar di seluruh penjuru dunia dalam berbagai bentuk lembaga keuangan, bahkan di Indonesia sejak 1992 sampai saat ini telah tumbuh dan berdiri berbagai lembaga keuangan syariah khususnya perbankan seperti Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, Bank Mega Syariah dan lain sebagainya.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya lebih cepat lagi. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah nasabah dan melonjaknya aset perbankan syariah secara keseluruhan. Sejak dikembangkannya sistem perbankan syariah di Tanah Air, 19 tahun lalu, total aset industri perbankan syariah telah meningkat 39,7 kali lipat dari Rp 1,79 triliun per Mei 2010. Laju pertumbuhan aset secara impresif berkisar 46 persen per tahun sesuai laporan yang diumumkan Islamic Bank (IB) melalui Bnak Indonesia.
Perkembangan yang begitu pesat telah membuktikan kepada kita betapa hebat dan pentingnya perbankan syariah dalam perekonomian kita karena dari sejarahnya bank syariah mampu melewati masa-masa krisis perekonomian yang dialami negara kita, keberadaannya telah memberikan alternatif investasi lain tanpa harus memikirkan resiko perkembangan balas jasa dengan metode bunga yang tidak pasti. Akan tetapi dalam pelaksanaanya perbankan syariah membutuhkan perlakuan khusus karena praktek penerapannya berbeda dengan bank konvensional yang telah kita kenal selama ini, terutama dalam hal menangani resiko dan tantangan yang dihadapi oleh bank syariah.
Perkembangan pasar perbankan syariah ini bekaitan erat dengan penanganan resiko yang ditangani oleh bank agar roda fungsi bank sebagai penghimpun dan penyalur dana berjalan dengan stabil. Untuk itu lah dalam industri perbankan khususnya syariah perlu memiliki, menerapkan dan mengontrol resiko yang tidak diharapkan dan untuk mengambil manfaat dari peluang bisnis yang tercipta sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Bank Konvensional. Pihak manajemen perlu menciptakan lingkungan manajemen resiko dan mengidentifikasi tujuan dan strategi lembaga secara jelas, serta dengan membentuk sistem yang dapat mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengelola berbagai eksposur resiko, bank syariah juga perlu membentuk sistem kontrol yang handal oleh karena karakteristik produk dan pelaksanaannya yang unik  dan berbeda dari yang biasanya dilakukan bank konvensional.
Disebabkan keunikan karakteristiknya dalam mengembangkan sistem identifikasi dalam manajemen resiko tersebut maka penulis tertarik membuat makalah yang berhubungan dengan terapannya dalam perbankan, juga dikarenakan memenuhi salah satu tugas mata kuliah manajemen resiko perbankan syariah sehingga judul makalah ini adalah “PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO BANK SYARIAH”.

2.      Permasalahan
Bagaimana penerapan manajemen resiko pada perbankan syariah?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     Sejarah Bank Syariah
Kasmir (2008:187) mengatakan bahwa jenis bank jika dilihat dari cara menetukan harga terbagi menjadi dua macam, yaitu bank yang berdasarkan prinsip konvensional dan bank yang berdasarkan prinsip syariah. Hal utama yang menjadi perbedaan antara kedua jenis bank ini adalah dalam hal penentuan harga, baik untuk harga jual maupun harga beli. Dalam bank konvensional penentuan harga selalu didasarkan kepada bunga, sedangkan dalam bank syariah didasarkan kepada konsep islam, yaitu kerja sama dalam skema bagi hasil, baik untung maupun rugi.
Sejarah awal mula kegiatan Bank Syariah yang pertama sekali dilakukan adalah di Pakistan dan Malaysia pada sekitar tahun 1940-an. Kemudian di Mesir pada tahun 1963 berdiri Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr Bank. Bank ini beroperasi di pedesaan Mesir dan masih berskala kecil, lalu berkembang menjadi institusi keuangan terbesar di Pakistan dan menjadi pelopor bagi negara-nagara yang berpenduduk mayoritas islam.
Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an lalu pada tahun 1991 lahir lah Bank Muamalat atas hasil kerja sama tim perbankan MUI. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPR). Namun demikian, keberadaan dua lembaga keuangan tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat lapisan bawah. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga-lembaga simpan-pinjam yang disebut baitul maal wattamwil (BMT). Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori berdirinya asuransi islam, Syarikat Takaful Inonesia (STI) dan menjadi salah satu pemwgang sahamnya.
Perkembangan lembaga keuangan syariah tergolong cukup cepat. Salah satu alasannya adalah karena adanya keyakinan yang kuat dikalangan masyarakat muslim bahwa perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang agama islam. Dengan didukung oleh UU No.10 Tahun 1998 sebagai pengganti UU No.7 Tahun 1992 memberikan peluang yang lebih besar lagi bagi pengembangan perbankan syariah karena didalamnya disebutkan tujuan dikembangkannya syariah adalah :
o       Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan diterapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga.
o       Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara, dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur (debitor to creditor relationship).
o       Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpectual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif (unproduction speculation), pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.



B.      Pengertian Resiko
Resiko dalam berbagai bentuk dan sumbernya merupakan komponen yang tak terpisahkan dari setiap aktivitas. Hal ini dikarenakan masa depan merupakan sesuatu yang sangat sulit diprediksi. Tidak ada seorang pun didunia ini yang tahu dengan pasti apa yang akan terjadi dimasa depan, bahkan mungkin satu detik kedelapan. Selalu ada elemen ketidakpastian yang menimbulkan resiko (Dradjad H. Wibowo, dalam Masud Ali:2006,19).
Ada dua istilah yang sering dicampur adukan yaitu ketidakpastian dan resiko. Sebagian orang menganggapnya sama. Sebagian lagi menganggapnya berbeda. Disini yang membedakan kedua istilah tersebut karena pengelolaanyya berbeda. Ketidakpastian mengacu pada pengertian resiko yang tidak diperkirakan (unexpected risk) (Djohanputro:2006).
Menurut kamus ekonomi, resiko adalah kemungkinan mengalami kerugian atau kegagalan karena tindakan atau peristiwa tertentu. Sedangkan menurut Herman Darmawan (2006:1) resiko senantiasa ada karena mengenanya kemungkinan akan terjadi akibat buruk atau akibat yang merugi, seperti kemungkinan kehilangan, cidera, kebakaran, dan lain sebagainya.
Resiko menurut Wikipedia Indonesia adalah bahaya yang dapat terjadi akibat dari sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Dalam bidang asuransi, resiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, dimana jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan kerugian.
Resiko dalam konteks perbankan menurut Adiwarman A. Karim (2004:255) merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Sedangkan Eddie Cade menyatakan bahwa definisi resiko berbeda-beda tergantung pada tujuannya.
Defenisi resiko yang tepat dilihat dari sudut pandang Bank adalah exposure terhadap ketidakpastian pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan bahwa resiko adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Resiko bank adalah keterbukaan terhadap kemungkinan rugi (exposure to the change of loss) (Erdatna:2008). Dalam konteks perbankan resiko merupakan potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank.
C.      Manajemen Resiko Perbankan
Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami perkembangan pesat, perbankan pada umumnya dan perbankan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya.
Resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu perbankan, dan bank syariah khusus dapat membentuk satuan tim yang mampu mengeloladan merupakan cakupan dari manajemen resiko itu sendiri, yaitu :
-          Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi
-          Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit
-          Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian resiko serta sistem informasi manajemen resiko
-          Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 11/25/PBI/2009 tantang perubahan atas PBI No.5/8/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum “Manajemen Resiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.
Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian resiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Identifikasi resiko dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap :
a.      Karakteristik resiko yang melekat pada aktifitas fungsional
b.      Resiko dari produk dan kegiatan usaha
2.      Pengukuran resiko dilaksanakan dengan melakukan :
a.      Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur resiko.
b.      Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran resiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, dan faktor resiko yang bersifat material.
3.      Pemantauan resiko dilaksanakan dengan melakukan :
a.      Evaluasi terhadap eksposure resiko
b.      Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk transaksi, faktor resiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen resiko yang bersifat material.
4.      Pelaksanaan pengendalian resiko, digunakan untuk mengelola resiko-resiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.
Resiko dapat diklasifikasikan melalui berbagai cara, diantaranya resiko dibedakan menjadi resiko bisnis dan resiko finansial. Resiko bisnis muncul secara alami dari aktivitas bisnis yang dijalankan yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pasaran produk. Sedangkan resiko finansial muncul dari kemungkinan kerugian dalam pasar keuangan, biasanya perubahan pada variabel-variabel keuangan, biasanya berhubungan dengan leverage dan risiko dimana kewajiban dan liabilitas tidak bisa dipertemukan dengan aset lancar.
BAB III
PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO
BANK SYARIAH

Lembaga Keuangan Syariah yang dibentuk sejak tiga dekade terakhir sebagai alternatif bagi lembaga keuangan konvensional, terutama ditujukan untuk menawarkan kesempatan investasi, pembiayaan, dan perniagaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah khususnya perbankan. Dalam usianya yang masih sangat belia, pertumbuhan industri perbankan ini sangat membanggakan. Salah satu fungsi dasarnya adalah untuk mengelola resiko yang muncul dalam transaksi keuangan secara efektif.
Menurut PBI No.11/25/2009 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum bahwa :
·        Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen Resiko untuk seluruh resiko sebagaimana yang dimaksud
·        Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Resiko paling kurang untuk 4 (empat) jenis resiko sebagaiman dimaksud
Adapun penerapan manajemen resiko yang dimaksud menurut PBI diidentifikasikan sebagai berikut :
1.      Resiko Kredit adalah resiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban pada bank.
2.      Resiko Pasar adalah resiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk resiko perubahan harga option.
3.      Resiko Likuiditas adalah resiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas  tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
4.      Resiko Operasional adalah resiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
5.      Resiko Kepatuhan adalah resiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
6.      Resiko Hukum adalah resiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
7.      Resiko Reputasi adalah resiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
8.      Resiko Stratejik adalah resiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Menurut Tariqullah Khan dan Habib Ahmed (2008:20-30), proses penerapan manajemen resiko bank syariah terdiri dari :
a.      Manajemen Resiko Kredit
Dewan direksi harus menguraikan keseluruhan strategi manajemen resiko kredit dengan menunjukan kemauan bank untuk menyalurkan pembiayaan di berbagai sektor usaha, lokasi geografis, jangka waktu, dan tingkat profitabilitas tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, juga harus memahami tujuan dari kualitas kredit, pendapatan, pertumbuhan, dan hubungan timbal balik antara resiko dengan tingkat return dari aktivitas yang dijalankan. Dan yang terpenting, strategi manajemen resiko kredit tersebut harus dikomunikasikan pada seluruh bagian perusahaan.
Senior manajemen bank bertanggung jawab untuk melaksanakan strategi manajemen resiko kredit yang telah ditetapkan oleh dewan direksi, yaitu dengan mengembangkan prosedur-prosedur tertulis yang merefleksikan keseluruhan strategi serta meyakinkan pelaksanaannya. Prosedur yang dibuat harus memuat kebijakan-kebijakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol resiko kredit. Perhatian juga perlu diberikan kepada aspek diversifikasi portofolio dengan menetapkan batas minimum pemberian kredit pada satu nasabah, grup usaha dari nasabah terkait, industri, sektor ekonomi, suatu kawasan, dan produk-produk individu. Bank dapat menggunakan pengujian (stress testing) dalam menetapkan limit dan monitoring dengan mempertimbangkan siklus usaha, suku bunga yang berlaku dan perubahan-perubahan yang terjadi di pasar. Bagi bank yang menyalurkan kredit berskala internasional, juga perlu menilai risiko negara (country risk) di mana ia berhubungan.
Bank harus memiliki sistem untuk pengadministrasian berbagai jenis risiko kredit dalam portofolio. Administrasi kredit yang tepat oleh bank setidaknya harus mencakup operasional yang efektif dan efisien dalam rangka dokumentasi proses monitoring, ketentuan-ketentuan dalam kontrak, ketentuan legalitas, jaminan, dan lain-lain, membuat laporan kepada manajemen secara akurat dan berkala, mematuhi kebijakan dan prosedur manajemen, serta aturan dan regulasi yang berlaku.
b.      Manajemen Resiko Suku Bunga
Dewan direksi harus menetapkan keseluruhan tujuan, strategi, dan kebijakan yang mengatur risiko suku bunga bank. Di samping menetapkan risiko suku  bunga, dewan dir3eksi juga harus memastikan bahwa pihak manajemen telah mengambil langkah-langkah yang tepat untuk, mengukur, memonitor, dan mengontrol risiko-risiko ini. Dewan direksi harus diberikan informasi secara periodik dan mereview status risiko suku bunga bank ini melalui laporan.
Senior manajemen harus memastikan bahwa bank telah mematuhi kebijakan dan prosedur yang memungkinkan risiko suku bunga dapat dikelola. Kebijakan dan prosedur ini meliputi pemeliharaan proses review manajemen risiko suku bunga, limit risiko yang tepat, sistem pengukuran risiko yang memadai, sistem pelaporan risiko suku bunga yang komprehensif, dan kontrol internal yang efektif. Bank harus menetapkan  siapa saja individu atau komite yang harus bertanggung jawab terhadap manajemen risiko suku bunga dan mendefenisikan garis wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur yang terdefenisi dengan jelas untuk membatasi dan mengontrol risiko suku bunga, yaitu dengan menjelaskan tanggung jawab dan akuntalibilitas terhadap keputusan manajemen risiko suku bunga dan mendefenisikan instrumen yang telah diotorisasi, strategi hedging dan profit taking. Risiko suku bunga pada produk-produk baru harus dijelaskan melalui analisis waktu jatuh tempo, masa repricing dan poengambilan suatu instrumen. Dewan direksi harus menetapkan hedging atau stategi manajemen risiko yang baru sebelum semua ini diimplementasikan.
c.       Manajemen Resiko Likuiditas
Bisnis perbankan berhubungan dengan dana seseorang yang sewaktu-waktu dapat ditarik sehingga manajemen likuiditas merupakan yang sangat penting bagi bank. Oleh karena itu, senior manajemen dan dewan direksi harus meyakinkan bahwa prioritas dan tujuan bank untuk kepereluan manajemen likuiditas telah jelas. Senior manajemen harus memastikan bahwa risiko likuiditas telah terkelola secara efektif dengan menentukan serangkaian prosedur dan kebijakan. Bank harus memiliki sistem informasi yang berfungsi untuk mengukur, memonitor, mengontrol, dan melaporkan risiko likuiditas. Laporan berkala mengenal likuiditas harus disediakan bagi dewan direksi dan senior manajemen. Laporan ini, diantaranya harus mencakup posisi likuiditas dalam rentang waktu tertentu.
Esensi dari masalah manajemen likuiditas muncul dari adanya kenyataan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara likuiditas dan profibalitas, dan adanya mismatch antara permintaan dan penawaran aset-aset  yang likuid. Sementara bank tidak mampu mengontrol sumber-sumber dana (dana pihak ketiga), ia dapat mengontrol penggunaan dari dana-dana tersebut. Misalnya, posisi  likuiditas bank memberikan prioritas pada pengalokasian dana. Dengan asumsi bahwa opportunity cost dari dana-dana  yang likuid adalah tetap, maka setelah memiliki likuiditas yang cukup, bank harus melakukan investasi yang dapat mendatangkan keuntungan. Sebagian besar bank yang ada sekarang ini telah membuat cadangan pelindung (protective reserve) di atas cadangan yang telah direncanakan. Sementara cadangan yang direncanakan merupakan verifikasi dari ketentuan regulator dan hasil perkiraan, jumlah dari cadangan pelindung tergantung pada sikap pihak manajemen terhadap risiko likuiditas.
d.      Manajemen Resiko Operasional
Dewan direksi dan senior manajemen harus mengembangkan keseluruhan kebijakan dan strategi untuk mengelola resiko operasional. Sementara resiko operasional bisa muncul akibat kegagalan faktor manusia, proses, dan teknologi, manajemen atas resiko ini lebih kompleks lagi. Senior manajemen perlu menetapkan standar mnajemen resiko dan pedoman pelaksanaan yang jelas, yang dapat mereduksi resiko operasional ini. Disamping itu, perhatian juga perlu ditekankan pada resiko aspek manusia, proses, dan teknologi yang bisa muncul dalam lembaga.
Dengan tetap memerhatikan sumber-sumber munculnya resiko operasional, standar identifikasi dan manajemen yang dibutuhkan juga perlu dikembangkan. Ketelitian juga perlu ditekankan untuk mengatasi resiko operasional yang muncul dari departemen atau unit organisasi akibat faktor manusia, proses, dan teknologi. Pedoman dan aturan juga harus dirinci dengan jelas. Disamping itu, pihak manajemen juga perlu mengembangkan “katalog resiko operasional” dimana peta dari proses bisnis dari tiap departemen dalam lembaga terinci dengan jelas. Misalnya, proses bisnis yang berhubungan dengan nasabah dan investor perlu disusun. Katalog ini tidak saja dapat mengidentifikasi dan menilai resiko operasional, tetapi juga dapat dipakai sebagai bukti transparansi oleh pihak manajemen dan auditor.
Resiko operasional memang cukup kompleks sehingga sangat sulit untuk mengukurnya. Sebagian besar teknik pengukuran resiko operasional yang ada masih sangat sederhana dan bersifat eksperimental. Namun demikian, bank dapat mengumpulkan informasi tentang berbagai jenis dari laporan dan rencana yang dipublikasikan dalam lembaga (seperti laporan audit, laporan pengawasan, laporan manajemen, rencana bisnis, rencana operasional, tingkat error, dan lain-lain). Review secara cermat dan hati-hati atas dokumen-dokumen ini dapat menutup GAP yang merepresentasikan potensi resiko. Data dari laporan-laporan tersebut lebih lanjut dapat dikategorikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal dan dikonversi ke dalam kemungkinan kerugian lembaga. Sebagian dari resiko operasional juga dapat terlindungi. Alat untuk menilai, memonitor, dan mengelola resiko di antaranya meliputi review secara berkala, pengujian (stress testing), dan alokasi modal ekonomi dalam jumlah yang tepat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.     Kesimpulan
1.      Perkembangan lembaga keuangan syariah tergolong cukup cepat. Dengan didukung oleh UU No.10 Tahun 1998 sebagai pengganti UU No.7 Tahun 1992 memberikan peluang yang lebih besar lagi bagi pengembangan perbankan syariah karena bertujuan memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga, membuka peluang pembiayaan dengan prinsip kemitraan, dan memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan.
2.      Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami perkembangan pesat, perbankan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu bank syariah harus dapat membentuk satuan tim yang mampu mengelola dan merupakan cakupan dari manajemen resiko itu sendiri yaitu : Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian resiko serta sistem informasi manajemen resiko; dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
3.      Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 11/25/PBI/2009 tantang perubahan atas PBI No.5/8/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum bahwa penerapan manajemen resiko terdiri dari resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas, resiko operasional, resiko hukum, resiko kepatuhan, resiko reputasi dan resiko stratejik. Bank Umum Konvensional wajib menerapkan keseluruhan resiko dimaksud sedangkan Bank Umum Syariah wajib menerapkan paling kurang 4 (empat) jenis resiko tersebut.
4.      Penerapan manajemen resiko yang biasa dikelola oleh perbankan syariah antara lain manajemen resiko kredit, manajemen resiko suku bunga, manajemen resiko likuiditas dan manajemen resiko operasional.

B.      Saran
Perbankan Syariah yang berfungsi menghimpun dana dan menyalurkan dana bagi masyarakat disarankan mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya yang berlandaskan islam. Serta mampu meyakinkan masyarakat atas keberadaan syariah yang tidak menjalankan konsep bunga yang rentan akan fluktuasi bunga. Untuk itu diharapkan Bank Syariah mampu mengelola manajemen resiko secara cermat agar fungsi utamanya dapat berjalan dengan baik. Melalui UU No.21 Tahun 2008 dan PBI No.11/25/2009 telah membuktikan kepada kita bahwa pemerintah serius terhadap perkembangan bank syariah yang sudah sangat pesat di kalangan masyarakat. Oleh karena itu juga disarankan agar Bank Syariah mampu mempromosikan secara luas program-programnya dengan manajemen yang baik agar masyarakat sebagai pengguna jasa-jasa perbankan yakin dan percaya.